Pages

Wednesday 24 January 2018

Catatan Hati #1

Assalamualaikum WrWb.
Bandung dingin malam ini, padahal belum terlalu larut. Angin juga sudah tidak sebesar tadi siang, semilir saja, kencang sesekali. Suara tv di ruang tengah dan anak-anak yang masih bermain bola sepulang sholat isya cukup berisik sebenarnya. Tapi tidak cukup mengusir rasa sepi yang sedang saya rasakan.
Entah, mungkin ini teguran Allah buat saya, karena telah berani berharap kepada makhluk-Nya, lancang bergantung kepada selain-Nya. Sering mengambil keputisan tanpa melibatkan-Nya, terlalu banyak berbuat dan bertindak tanpa menyadari bahwa kelak semua akan diminta pertanggungjawaban oleh-Nya.
Saya....sedang merasa sendiri. Memang benar semua hanya sementara, termasuk teman, sahabat dan saudara. Saya yang dulu sering berbagi cerita, berkisah kegalauan dan keresahan, sekarang merasa terpenjara. Bukan karena saya kehilangan mereka, sahabat-sahabat saya. Mereka tetap sahabat saya meski kini masing-masing punya urusan dan prioritas. Saya sadar sepenuhnya saya lah yang membatasi dan menarik diri. Bukan karena sudah tak nyaman lagi, tapi banyak hal-hal yang tak bisa diungkap bahkan kepada saudara kandung sendiri.
Sejak menikah, saya membiasakan diri membatasi 'curhat' saya tentang keluarga kecil kami. Sampai akhirnya saya bisa menyimpan sendiri segala sesuatu yang justru ternyata menggerogoti kewarasan saya sedikit demi sedikit. 
Dulu, jika sedang kesal atau marah dengan Rakkani (sekarang suami), saya kadang bercerita dengan sahabat saya. Biasanya, saya puas, lega, dan kekesalan saya jauh berkurang, bahkan hilang. Setelah menikah, itu tak bisa lagi saya lakukan. Saya harus menjaga kemuliaan suami saya, dan orangtuanya, dan saudara-saudaranya. Cukup simpan dalam hati, pendam, dan berharap seiring waktu semua akan baik kembali.
Dulu, jika ada hal menyenangkan atau menyedihkan, atau ada kesulitan saat kuliah atau kerja, atau hal-hal bodor tak jelas sehari-hari, saya selalu bercerita dengan orangtua, dengan Ibu terutama. Kini saya harus pilih-pilih cerita mana yang bisa saya sampaikan, mana yang tidak. Saya takut, orangtua saya menyesalkan keputusan-keputusan saya di masa lalu jika mereka tahu kepedihan macam apa yang saya alami, kesakitan seperti apa yang saya rasakan. Saya tak ingin membuat Ibu sedih dan khawatir. Semua saya telan sendiri.
Suami, kini memang tempat saya berbagi semua hal, suka-duka senang-sedih karena memang kami menjalaninya bersama. Tapi, saya pun harus pandai memilah mana yang bisa saya sampaikan, mana yang tidak. Apakah uneg-uneg saya akan menyinggungnya, melukai perasaannya. Apakah permintaan saya memberatkannya. Apakah keluh kesah saya menjadi beban tersendiri untuknya. Saya juga harus tahu kapan waktu yang tepat membicarakan sesuatu yang serius. Apa mood nya sedang baik. Apa saya mengganggu waktu istirahatnya atau me-time nya. Kebanyakan, saya simpan sendiri masalah saya meski tak jarang pula saya meledak-ledak meluapkan semua rasa.
Kini saya menyadari, ada yang saya lupakan. Sekarang saya mengerti mengapa saya begitu sedih ketika tak memiliki tempat bercerita. Saya melupakanNya, saya tak melibatkanNya, saya sudah terlalu jauh dariNya. Andai saya sadar sejak awal bahwa tak ada tempat curhat terbaik selain curhat padaNya. Tak ada yang bisa sepenuhnya dipercayai selainNya. Tak ada yang bisa memberikan rasa tenang selain kedekatan denganNya. Dan tak ada yang bisa memberikan solusi segala masalah sesempurnaNya.
Allah, ampuni saya. Ampuni semua kebodohan saya. Peluk saya ya Allah. Tiada lagi yang bisa menolong saya selain Engkau Ya Allah. Tenangkan hati saya, lapangkan dada saya. Astagfirullahaladzim.


Cibiru, 230118

No comments:

Post a Comment