Assalamualaikum Wr WB
Saya dulu sering ngomong " forgive but no forget" sama seseorang kalau saya cerita tentang orang yang meminta maaf sama saya. Saya awalnya ngasal aja sih, ga nyangka kalo ternyata omongan saya itu sangat mempengaruhi saya, mungkin tepatnya, masuk ke alam bawah sadar saya. Saya memang jadi susaah banget maafin orang. Kalau saya sudah merasa tersakiti, hati saya seperti menyimpannya dalam-dalam, rapat-rapat, sampai otomatis mengubah sikap saya terhadap orang tersebut. Suami bilang saya jadi pendendam. Tidak. Bukan dendam, karena dendam itu menurut saya berarti keinginan untuk membalas perlakuan buruk seseorang agar seseorang itu merasakan hal yang sama. Sementara saya sama sekali tidak ingin membalas, hanya saja saya tidak begitu saja melupakan, saya hampir selalu teringat setiap saya bertemu dengan seseorang itu yang otomatis membuat sikap saya ya kurang baik juga. Saya juga ga bisa acting seolah-olah saya baik-baik saja, makanya saya sering memilih menghindar, berusaha tidak bertemu jika tak ada yang mendesak. Saya sadar ini salah, saya pun berusaha agar tidak selalu seperti ini, tapi ternyata susah minta ampun. Saya mencoba mengingat semua kebaikan seseorang itu, semua, sekecil apapun. Bahkan pernah sampai saya tulis semua kebaikannya yang banyak dibanding kekurangannya yang sedikit. Tapi ibarat 'gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga', ternyata ya kebaikan sebanyak apapun bisa hancur gara-gara satu 'kejelekan'.
Tahun lalu, tepat di hari ulang taun saya, saya mengalami kejadian yang sangat menyedihkan. Saat itu saya LDR sama suami, jauh juga sama Ibu. Kesepian, ga ada tempat saya mencurahkan rasa sakit saya, rasa sedih saya. Saya dihakimi tanpa diadili. Saya dimarahi, yang bahkan orangtua sendiri pun ga pernah memarahi saya seperti itu. Ah saya ga bisa tuliskan di sini detail kejadiannya. Saya merasa disakiti, teramat sakit. Saya sedih karena di hari ulang tahun saya yang mungkin seharusnya saya bahagia, saya malah mendapat "kado spesial" dari "orang-orang spesial". Lebih sakit lagi ketika orang itu bercerita ke orang lain dan ceritanya dibumbui ini itu. Di sini saya merasa difitnah juga.
Nah, rasa sakit hati saya itu belum bisa saya lupakan sampai sekarang. Ketika teringat bagaimana sakitnya, saya ga bisa menahan air mata saya dan sering sekali tiba-tiba dada saya sesak, sakit. Saya sempat mendatangi psikolog. Saya tahu ada yang tidak beres dengan diri saya dan saya butuh seseorang yang netral yang bisa mendengarkan saya dan memberi masukan. Alhamdulillah, saya merasa jauh lebih baik. Saya tidak lagi merasa sesak dan sakit di ulu hati ketika teringat kejadian itu. Ya, walaupun masih suka sedih.
Sekarang kalau ada yang bilang "ih, bentar lagi ulangtahun" atau sejenisnya, saya masih sedih, teringat kejadian tahun lalu, tapi sudah tidak terlalu sesak. Jujur saya ingin lupa. Saya ingin biasa aja. Tapi mungkin semuanya butuh waktu, butuh proses. Apalagi ini tentang hati.
Tapi setidaknya saya jadi tahu sih "dalam-nya" orang. Yang di luar terlihat baik, bisa saja menyimpan rasa ga suka yang amat sangat sama kita. Yang di luar terlihat perhatian, bisa saja hanya karena terpaksa terikat seseorang atau sesuatu. Yang di luar tampak seperti orang yang jujur, ternyata jago juga membumbui cerita agar terdengar lebih dramatis. Yang diam saja, bisa jadi menyimpan kebencian yang mendalam. Saya juga jadi tahu, seberapa bijak orang-orang itu.
Saya sudah memaafkan, dan saya sedang dalam proses melupakan. Semoga ini juga jadi pelajaran bagi saya, agar saya bisa lebih bijak dalam mengambil sikap, saya bisa lebih berhati-hati dalam berbicara, saya bisa menjaga lisan saya agar saya tidak menyakiti orang lain, siapapun itu.
No comments:
Post a Comment