Tahun 2017, hidupku sedang sibuk-sibuknya. Anak sulung baru berusia empat tahun, aku sedang hamil anak kedua, dan berjauhan dengan suami karena beliau bekerja di luar pulau yang pulang dua bulan sekali. Hari-hari terasa seperti berjalan di lorong panjang yang tak terlihat ujungnya. Di tengah rutinitas itu, anakku tiba-tiba mogok sekolah. Setiap pagi jadi drama. Kebetulan, adik iparku mengenalkanku pada Institut Ibu profesional. Ia sudah bergabung lebih dulu dan sedang mengikuti matrikulasi saat itu. Aku pun mengikutinya. Aku tidak tahu bahwa langkah kecil bergabung waktu itu akan mengubah caraku memandang banyak hal. Tentang menjadi ibu, tentang belajar, bahkan tentang diriku sendiri.
Menemukan Gagasan Ibu Septi
Melalui kisah dan tulisan Ibu Septi Peni Wulandani, aku seperti menemukan gambaran hidup seorang ibu yang dekat dengan keseharianku. Dalam E-book Ibu Profesional, beliau menulis tentang masa-masa awal menjadi ibu tiga anak tanpa asisten rumah tangga. Tentang kelelahan yang kadang berujung pada air mata yang tertumpah di kamar mandi, dan tentang suami beliau yang bisa menebak kadar stres dari tagihan PAM bulanan.
Didukung penuh oleh suaminya, Bapak Dodik Mariyanto, yang menggagas Piramida Ibu Profesional, Ibu Septi menempuh perjalanan belajar bertahun-tahun hingga akhirnya pada 2011 lahirlah Institut Ibu Profesional (IIP), sebuah wadah belajar bagi para ibu untuk memantaskan diri melalui empat tahapan yaitu Bunda Sayang, Bunda Cekatan, Bunda Produktif, dan Bunda Shaleha. Saat ini, Ibu profesional telah berkembang, mendunia, menjadi rumah belajar bagi ribuan perempuan yang ingin mendidik anak-anaknya dengan ilmu dan kesungguhan. Institut Ibu profesional menjadi salah satu komponen dari banyaknya komponen dan program inovasi Ibu Profesional.
Aku ingat salah satu gagasan Ibu Septi yaitu “jatuh bangunnya peradaban bergantung pada perempuannya” . Beliau juga menegaskan bahwa rumah adalah taman dan pintu gerbang peradaban, tempat karya besar dimulai, bukan sekadar tempat tinggal. Dan di Ibu Profesional, aku diajak melihat bahwa menjadi ibu bukanlah sekadar peran alami yang seringkali dijalani dengan keterpaksaan, melainkan sebuah profesi yang membutuhkan ilmu, latihan, dan visi yang jelas.
Ibu Septi juga pernah berkata bahwa “proses adalah hak kita, hasil adalah hak Allah.” Kalimat itu menjadi penyemangatku untuk bersabar menjalani proses. Sejak saat itu, aku mulai melihat “mogok sekolah” anak dengan cara berbeda. Ia bukan sedang menolak belajar. Ia hanya butuh ruang yang lebih alami, lebih dekat dengan ritme hidupnya sehari-hari. Maka aku (dan suami) mantap memilih jalan homeschooling untuk pendidikan anak-anak kami, jalan yang terasa paling sesuai dengan nilai keluarga kami saat itu.
Dua Pertemuan yang Mengubah Cara Pandang
Aku masih ingat pertemuan pertamaku dengan Ibu Septi, saat Wisuda Matrikulasi Ibu Profesional di Bandung tahun 2018. Waktu itu aku datang dengan perasaan campur aduk antara haru dan kagum. Setelah melewati proses belajar matrikulasi yang cukup panjang, rasanya luar biasa bisa bertemu langsung dengan sosok yang selama ini hanya ku kenal lewat tulisan.
Ibu Septi tampil sederhana, tanpa jarak, tanpa formalitas berlebihan. Tapi setiap kalimat yang keluar dari lisannya penuh makna. Beliau berbicara tentang bagaimana seorang ibu bisa menjadi pusat peradaban dengan cara sederhana, yaitu hadir sepenuhnya bagi keluarga. Aku duduk di tengah barisan, menatap beliau sambil menahan air mata. Dalam hati berkata, “Ternyata menjadi ibu bisa dijalani dengan bahagia, asal tahu ilmunya.”
![]() |
| Sayangnya aku tidak menemukan foto bersama Ibu dan Bapak |
![]() |
| Bana masih di dalam perut |
Tujuh tahun kemudian, di acara Board Game Land Ibu Profesional di Cianjur (2025), aku bertemu lagi dengan beliau. Kali ini, aku datang bersama anak-anak yang sudah tumbuh lebih besar. Rasanya seperti menutup lingkaran perjalanan. Dulu aku datang sebagai ibu yang mencari arah, kini aku datang sebagai ibu yang masih terus belajar, namun dengan hati yang lebih tenang.
![]() |
| Panitia BoardGame Land Cianjur bersama Ibu dan Bapak |
Dari Rumah, Kita Membangun Peradaban
Dari dua pertemuan itu, aku belajar bahwa kekuatan seorang ibu bukan pada kesempurnaan, tapi pada kesediaannya untuk terus bertumbuh. Ibu Septi tidak pernah berbicara tentang menjadi ibu ideal yang sempurna. Beliau mengajarkan tentang kesungguhan. Bahwa setiap ibu yang mau belajar adalah ibu yang sedang memperbaiki peradaban.
Satu kalimat beliau yang selalu terngiang di kepalaku:
“Anak-anak terlahir hebat, orangtuanyalah yang harus memantaskan diri agar layak mendapatkan amanah anak-anak hebat.”
Kalimat sederhana itu semakin meneguhkan langkahku dalam menjalani homeschooling. Aku belajar bahwa tugasku bukan mencetak anak yang sempurna, melainkan menumbuhkan diri agar mampu mendampingi mereka dengan ilmu dan cinta.
Kini, setelah delapan tahun bersama Ibu Profesional, aku bisa mengatakan bahwa keputusan bergabung tahun 2017 adalah salah satu titik balik terbesar dalam hidupku. Komunitas ini banyak mengajarkanku untuk tidak hanya fokus mengajar anak-anak, tapi juga belajar bersama mereka.
Homeschooling bukan sekadar tentang belajar di rumah, tapi tentang menumbuhkan budaya belajar dalam keluarga, tentang menciptakan suasana di mana setiap anggota keluarga tumbuh dengan cara masing-masing. Tentang belajar matematika sambil membuat kue, membaca buku di bawah pohon, berlarian di pematang sawah, atau berdiskusi kecil yang berujung pada pembelajaran yang besar. Dan di setiap proses itu, aku merasakan semangat Ibu Septi. Semangat untuk menjadi ibu yang belajar, ibu yang tumbuh, ibu yang profesional.
Dari Rumah untuk Perabadan Dunia
Di dunia yang sering kali mengukur kesuksesan dengan gelar dan jabatan, Ibu Septi mengingatkan kita bahwa profesi tertinggi seorang perempuan adalah menjadi ibu yang sadar peran dan mau terus belajar. Bahwa dari rumah yang sederhana, peradaban bisa dibangun dengan satu langkah kecil, satu pelukan hangat, satu proses belajar yang penuh cinta di dalamnya.
Bagiku, Ibu Septi bukan hanya pendiri komunitas, tapi juga ibu ideologis dan guru kehidupan. Beliau telah menyalakan api semangat yang terus menyala di hati banyak ibu, termasuk aku. Api yang membuat kami percaya bahwa menjadi ibu bukan akhir dari mimpi, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju akhir hidup yang mulia.
Kini, setiap kali hari terasa berat, aku kembali pada pesan beliau:
“Rumah adalah taman dan pintu gerbang peradaban.”
Dan setiap kali aku melihat anak-anak belajar dengan mata berbinar, aku tahu, taman kecil kami sedang tumbuh, pelan tapi pasti, menjadi bagian dari peradaban yang lebih baik.



No comments:
Post a Comment