Pages

Sunday, 6 April 2025

Just Wondering....

Assalamualaikum.
Cerita yang kutulis kali ini mengandung ghibah, silakan di skip. 
Tadi pagi sambil menunggu mesin cuci menggiling pakaian, aku pegang hp, baca-baca threads dan tanpa sengaja aku membaca tentang bagaimana suami memuliakan istri dan istri memuliakan suami, tentang bagaimana hak dan tanggung jawab keduanya, bagaimana seharusnya suami dan istri saling membantu dan memudahkan urusan satu sama lain.
Aku tiba-tiba teringat seseorang yang ku kenal, seorang perempuan berusia menjelang empat puluh tahun (sudah empat puluh tahun pada tahun ini) yang menjalani pernikahan teraneh menurutku. Mereka berkenalan lewat sosial media, aku kurang tahu entah berapa lama mereka saling mengenal sampai akhirnya memutuskan menikah. Si perempuan janda dengan empat orang anak, sebut saja Teteh X. Si laki-laki duda dengan dua anak, sebut saja Aa Y. Sebelum pernikahan, teteh X mengetahui bahwa aa Y mempunyai pekerjaan tetap, sudah memiliki rumah meski rumah yang sederhana. Menurutnya aa Y ini juga sangat sholeh, aktif di suatu jamaah, relawan janaiz, tipe-tipe lelaki berjenggot dan bercelana ngatung. 
Singkat cerita mereka menikah dengan wali hakim. Ayah si Teteh X sudah meninggal, ada uwa nya beda kota yang baru dihubungi (untuk meminta izin dan minta tolong jadi wali) di H-3. Uwa nya yang sudah sepuh tentu saja tidak bisa hadir mendadak keluar kota. Jadi beliau menyerahkan hak wali nya ke wali hakim. Mereka menikah di tempat si laki-laki tanpa ada satupun keluarga si Teteh x hadir. Ibu si Teteh x sebetulnya belum ridho si Teteh x menikah karena calonnya belum terlalu kenal dan menimbang riwayat pernikahan si Teteh x. Namun ibunya hanya bilang terserah saja karena menghindari konflik dengan teteh X. Tak ada pertemuan keluarga, tak ada lamaran, mereka menikah. Acara sangat sederhana di rumah si laki-laki dengan memanggil petugas KuA. Nikah agama saja dengan bukti pernikahan foto-foto dan selembar kertas. Tak ada buku nikah. 
Beberapa hari setelah menikah mereka kembali ke tempat ibu si Teteh x. Ibunya sengaja mengadakan syukuran kecil-kecilan, mengabarkan ke para tetangga bahwa teteh X telah menikah aa Y agar tak ada fitnah, tentu dengan seluruh biaya ditanggung oleh sang Ibu.
Teteh X kemudian membawa kedua anaknya pindah ke rumah aa Y, yang dua lagi tetap tinggal bersama Ibu si Teteh. Tentu saja mereka harus pindah sekolah. Pindahan sekolah semua diurus si aa Y. Namun belakangan baru tahu sekolahnya sangat jauh, alasannya karena itulah sekolah termurah di wilayah sana.
Dari sini penderitaan anak-anak si Teteh X dimulai....
Mereka tinggal di rumah ayah tiri mereka yang hanya memiliki satu kamar. Tak ada kamar lain. Ada ruangan depan yang dijadikan ruang tamu, ruang duduk, ruang jahit (teteh X adalah seorang penjahit, dia membawa mesin-mesin jahitnya dan semua peralatan menjahit saat pindah ke sana). Dua anak teteh X usia sebelas dan sembilan tahun, keduanya perempuan. Tak ada tempat tidur yang layak, mereka tidur di kolong meja potong kain. Di rumah itu juga tak ada kamar mandi. Jadi keperluan mandi cuci kakus ikut ke rumah mertua teteh X. Belakangan anak teteh X cerita kalau mereka sering ditegur agar tidak lama-lama menggunakan kamar mandi dan boros air, padahal baru masuk kamar mandi. 
Jarak tempuh yang jauh dari rumah ke sekolah, membuat anak-anak teteh X harus berangkat pukul lima pagi. Menempuh perjalanan sekitar 7km dengan BERJALAN KAKI. Di awal-awal sang ayah tiri sempat mengantar beberapa kali, pulangnya naik angkutan umum. Sesekali dipesankan ojeg online. Tak sampai sebulan anak-anak teteh X harus berjalan kaki, karena tak diantar dan tak ada uang juga untuk naik angkutan umum atau ojeg online. Mereka tak pernah punya uang jajan. Ayah tiri mereka bekerja serabutan, kalaupun ada uang hanya anak-anak kandungnya yang dikasih uang jajan, mereka tidak. Begitupun dengan makan, jika anak kandung si ayah tiri bisa makan dengan telur dadar atau goreng tahu, anak-anak teteh X hanya makan nasi sisa dengan garam. Teteh X berusaha mencari pekerjaan agar dia dan anak-anaknya bisa makan, karena ternyata suaminya tidak menafkahi dengan layak.

Bersambung

No comments:

Post a Comment