Pages

Wednesday, 9 April 2025

Sebuah Puisi

Assalamualaikum. 

 Halaman Jurnal, Selembar Kertas Tak Ternilai



Di antara baris-baris tak terisi

Aku mencoba menemukan ruang untuk bermimpi

Merencanakan langkah-langkah kecil

Menuju tujuan yang besar, yang dimulai di bulan April


Setiap hari aku akan mencatat

Keseharian yang penuh warna akan terlihat

Senyum, tangis, suka dan duka

Juga dokumentasi kegiatan mereka


Menjurnal, mengikat kenangan

Merefleksi diri, bukan sekedar cerita karangan

Bukti perjalanan waktu

Bagaimana aku di rumah sebagai seorang guru


Jika saatnya evaluasi membuat gundah

Aku bisa melihat kembali jejak jejak langkah

Apa yang telah kulakukan dengan baik

Apa yang perlu diperbaiki tanp harus putar balik


Semoga dengan rutin menjurnal

Aku bisa menjadi ibu yang handal

Sekaligus seorang pendidik yang profesional

Dengan lebih bijak, tanpa harus keteteran jadwal

 

Cianjur, 9 April 2025

Puisi ini dibuat dalam rangka setoran tugas pertama kelas Menjurnal Bersama Teman. Kelas ini diselenggarakan oleh seorang mama homeschooler bernama Mbak Nely. Beliau memang sering sharing tentang jurnal homeschooling dan kesehariannya. Aku yang kadang merasa masih susah mengatur waktu dan menyusun prioritas, tertarik bergabung dengan kelasnya. Sebelumnya aku pernah beberapakali mencoba menjurnal, namun masih kurang konsisten. Semangat di awal namun lama-lama makin jarang dan kemudian berhenti. Di kelas ini banyak sesama praktisi homeshooler yang juga belajar menjurnal. Insyaallah kami akan bisa saling menginspirasi dan memotivasi. 

Tugas pertama kemarin sebenarnya adalah menuliskan niat dan tujuan mengikuti kelas Menjurnal Bersama Teman. Tapi aku iseng-iseng membuatnya dalam bentuk puisi. Aku tidak mengerjakannya sendiri, aku dibantu suami dan anak-anak. Beberapa kali aku bertanya apa kata-kata yang tepat di akhir kalimat agar puisiku berima. Setelah selesai, aku meminta suamiku membaca dan mengoreksinya. Beliau menyarankan kata 'ratu' di bait ke tiga diganti dengan 'guru', karena bagaimanapun aku memang seorang guru untuk anak-anakku. 

Aku bukan seorang yang suka membuat puisi, tapi entah mengapa kemarin tiba-tiba ingin menuliskannya dalam bentuk puisi. Justru suamiku yang dulu sering membuat puisi, bahkan sejak SMP beliau memiliki satu buku tulis khusus untuk menulis karya puisinya. Aku masih menyimpannya hingga kini, sesekali ku buka. Entah kapan beliau terakhir menulis puisi. Mungkin saat ini fokusnya adalah bagamana kami sekeluarga bisa hidup nyaman tanpa kekurangan sesuatu apapun. 




Monday, 7 April 2025

Just Wondering ... (2)

Assalamualaikum.

Aku mau lanjut cerita tentang teteh X dan aa Y ya...

Selain masalah makan yang dibeda-bedakan, ternyata anak-anak teteh X juga mengalami KDRT, terutama anaknya yang paling kecil. Suatu waktu, teteh X meminta tolong adiknya yang tinggal beda kota untuk mengirimkan obat. Teteh X mengirimkan foto anak bungsunya dengan mata bengkak memar keunguan. Saat itu teteh X bilang kalau anaknya jatuh kejedug sudut meja. Berbulan kemudian saat si an bunsu bertemu dangan tantenya (adiknya teteh x), si anak tersebut cerita bahwa waktu itu dia tidak jatuh kejedot meja, tapi dipukuli sama ayah tirinya alias teteh X. Ketika ditanya alasannya, katanya aa Y hanya bilang "ga suka aja lihat muka kamu, bibir kamu jelek." Jika teteh X sedang bekerja ( saat itu teteh x menjadi buruh cuci gosok di komplek perumahan dekat tempat tinggal mereka), maka si anak bungsu selalu disiksa. Kadang dipukul punggungnya tiba-tiba. Pernah juga ditendang ketika sedang tidur. Bahkan kaki dan tangannya ditusuk-tusuk jarum. Sang anak menceritakan ini sambil menangis kepada tantenya, dan menurut tantenya terlihat jelas si anak memiliki trauma.

Lama kelamaan teteh X mengetahui apa yang terjadi pada anak-anaknya dan memutuskan untuk ngontrak, tapiii meminta bantuan anak sulungnya menemani di kontrakan, karena teteh X akan tetap tinggal bersama suaminya. Katanya, ingin menyelamatkan anak-anaknya tapi juga ingin menyelmatkan rumah tangganya. Saat kekerasan terparah terjadi kepada anak bungsu, semua orang di sekitar teteh X sudah meminta teteh X untuk pergi menjauh dan lapor polisi. Adiknya teteh X sudah meminta bantuan rekannya yang satu kota dengan teteh X untuk membantu melaporkan ke komnas perlindungan perempuan dan anak juga laporan ke polisi. namun teteh X meminta menghentikan semuanya dengan alasan kasihan anak-anak kandung aa Y kalau sampai aa Y di tangkap polisi atau apalah.

Singkat cerita teteh X mengontrak rumah untuk anak-anaknya, bersama anak sulung yang sengaja didatangkan dari kampung halaman. Untuk biaya transport anak sulung dari kampung halaman ke kota itu dan untuk bayar kontrakan, teteh X meminjam dari adiknya dengan kesepakatan dicicil selama 4 bulan (yang ternyata sampai dua tahun). Pernah adiknya mengirimkan makanan via ojeg online karena teteh X dan anak-anak sudah dua hari tidak makan. Beberapa bulan kemudian anak-anak teteh X kembali ke rumah aa Y karena sudah tidak bisa lanjut bayar kontrakan. Si anak sulung kembali ke kampung halaman.

Teteh X berusaha tidak meninggalkan anak-anaknya bersama aa Y, tapi tetap saja KDRT itu kembali terjadi. Entah apa yang ada di pikiran teteh X hingga tetap bertahan bersama aa Y setelah semua hal yang terjadi. 

Hingga anak kedua teteh X mendapat beasiswa di sebuah boarding school ternama di kota tempat tinggal adiknya teteh X. Teteh X dan kedua anaknya yang selama ini ikut bersamanya pindah ke kota itu, tinggal dekat adiknya. Kepada adiknya teteh X menceritakan sudah lepas dari aa Y, adiknya menganggap mereka bercerai. Teteh x masih tetap pergi ke kota sebelumnya setiap weekend karena ada kerjaan menjahit, dan itu menjadi satu-satunya penghasilan teteh X karena di kota baru belum mendapat pekerjaan. 

Namun, suatu waktu teteh X pergi ke kota lama untuk menjahit, bos nya mengubungi adik teteh X dan menceritakan bahwa selama ini teteh X masih menemui aa Y, sering terlambat datang bekerja dan tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Bahkan sudah kembali tidur bersama. Sang adik menghubungi teteh X dan menanyakan hal itu, ternyata benar. Tentu sang adik kecewa sedalam-dalamnya, menegurnya dan mengingatkan apa yang telah teteh X dan anak-anaknya lalui selama ini. Namun teteh X tidak terima, merasa adiknya menggurui dan terlalu ikut campur. Mereka bertengkar hingga tak saling berhubungan beberapa minggu. Yang membuat adiknya memutuskan untuk berhenti menghubungi teteh X adalah karena sebuah pesan yang dikirim aa Y. Sang adik dimaki-maki, dibilang jangan ikut campur, disumpah serapahi dengan kata-kata terkasar yang pernah sang adik dengar, bahasa-bahasa kebun binatang bahkan kata terkasar yang sangat menyakitkan hati.  Anak-anak teteh X yang kalau weekend biasanya dititipkan di rumah sang adik selama teteh X ke kota lama, saat itu tidak lagi. Mereka di tinggal berdua di rumah kontrakan, sampai suatu hari suami sang adik mendapatkan foto bahwa kedua anak teteh X ang dikontrakan sedang makan di rumah tetangga. Meski sangat benci dengan keputusan teteh X begitu, sang adik tidak tega kepada anak-anaknya. Sang adik rutin mengirimkan makanan setiap teteh X pergi. 

Beberapa bulan berselang, teteh X dan sang adik mulai berkomunikasi kembali meski agak canggung. Namun sang adik sudah memutuskan untuk tak bertanya apapun, tak ikut campur apapun, tidak berkomentar apapun mengenai status teteh X dengan aa Y. Sang adik sudah tidak peduli. Sang adik tetap rutin mengirimkan makanan, sesekali membayarkan tagihan listrik atau mengisi kuota. Tak jarang pula meminjami sejumlah uang tunai. Mesin jahit teteh X satu persatu dijual, untuk mencukupi bayar kontrakan. Tak ada nafkah dari aa Y atau apalah istilahnya. Teteh x pusing sendiri. Sampai kemudian teteh X pindah kontrakan dengan masih menyisakan sisa hutang ke pemilik kontrakan, salah satu mesin jahitnya menjadi jaminan.

Bersambung lagi ya.


Sunday, 6 April 2025

Just Wondering....

Assalamualaikum.
Cerita yang kutulis kali ini mengandung ghibah, silakan di skip. 
Tadi pagi sambil menunggu mesin cuci menggiling pakaian, aku pegang hp, baca-baca threads dan tanpa sengaja aku membaca tentang bagaimana suami memuliakan istri dan istri memuliakan suami, tentang bagaimana hak dan tanggung jawab keduanya, bagaimana seharusnya suami dan istri saling membantu dan memudahkan urusan satu sama lain.
Aku tiba-tiba teringat seseorang yang ku kenal, seorang perempuan berusia menjelang empat puluh tahun (sudah empat puluh tahun pada tahun ini) yang menjalani pernikahan teraneh menurutku. Mereka berkenalan lewat sosial media, aku kurang tahu entah berapa lama mereka saling mengenal sampai akhirnya memutuskan menikah. Si perempuan janda dengan empat orang anak, sebut saja Teteh X. Si laki-laki duda dengan dua anak, sebut saja Aa Y. Sebelum pernikahan, teteh X mengetahui bahwa aa Y mempunyai pekerjaan tetap, sudah memiliki rumah meski rumah yang sederhana. Menurutnya aa Y ini juga sangat sholeh, aktif di suatu jamaah, relawan janaiz, tipe-tipe lelaki berjenggot dan bercelana ngatung. 
Singkat cerita mereka menikah dengan wali hakim. Ayah si Teteh X sudah meninggal, ada uwa nya beda kota yang baru dihubungi (untuk meminta izin dan minta tolong jadi wali) di H-3. Uwa nya yang sudah sepuh tentu saja tidak bisa hadir mendadak keluar kota. Jadi beliau menyerahkan hak wali nya ke wali hakim. Mereka menikah di tempat si laki-laki tanpa ada satupun keluarga si Teteh x hadir. Ibu si Teteh x sebetulnya belum ridho si Teteh x menikah karena calonnya belum terlalu kenal dan menimbang riwayat pernikahan si Teteh x. Namun ibunya hanya bilang terserah saja karena menghindari konflik dengan teteh X. Tak ada pertemuan keluarga, tak ada lamaran, mereka menikah. Acara sangat sederhana di rumah si laki-laki dengan memanggil petugas KuA. Nikah agama saja dengan bukti pernikahan foto-foto dan selembar kertas. Tak ada buku nikah. 
Beberapa hari setelah menikah mereka kembali ke tempat ibu si Teteh x. Ibunya sengaja mengadakan syukuran kecil-kecilan, mengabarkan ke para tetangga bahwa teteh X telah menikah aa Y agar tak ada fitnah, tentu dengan seluruh biaya ditanggung oleh sang Ibu.
Teteh X kemudian membawa kedua anaknya pindah ke rumah aa Y, yang dua lagi tetap tinggal bersama Ibu si Teteh. Tentu saja mereka harus pindah sekolah. Pindahan sekolah semua diurus si aa Y. Namun belakangan baru tahu sekolahnya sangat jauh, alasannya karena itulah sekolah termurah di wilayah sana.
Dari sini penderitaan anak-anak si Teteh X dimulai....
Mereka tinggal di rumah ayah tiri mereka yang hanya memiliki satu kamar. Tak ada kamar lain. Ada ruangan depan yang dijadikan ruang tamu, ruang duduk, ruang jahit (teteh X adalah seorang penjahit, dia membawa mesin-mesin jahitnya dan semua peralatan menjahit saat pindah ke sana). Dua anak teteh X usia sebelas dan sembilan tahun, keduanya perempuan. Tak ada tempat tidur yang layak, mereka tidur di kolong meja potong kain. Di rumah itu juga tak ada kamar mandi. Jadi keperluan mandi cuci kakus ikut ke rumah mertua teteh X. Belakangan anak teteh X cerita kalau mereka sering ditegur agar tidak lama-lama menggunakan kamar mandi dan boros air, padahal baru masuk kamar mandi. 
Jarak tempuh yang jauh dari rumah ke sekolah, membuat anak-anak teteh X harus berangkat pukul lima pagi. Menempuh perjalanan sekitar 7km dengan BERJALAN KAKI. Di awal-awal sang ayah tiri sempat mengantar beberapa kali, pulangnya naik angkutan umum. Sesekali dipesankan ojeg online. Tak sampai sebulan anak-anak teteh X harus berjalan kaki, karena tak diantar dan tak ada uang juga untuk naik angkutan umum atau ojeg online. Mereka tak pernah punya uang jajan. Ayah tiri mereka bekerja serabutan, kalaupun ada uang hanya anak-anak kandungnya yang dikasih uang jajan, mereka tidak. Begitupun dengan makan, jika anak kandung si ayah tiri bisa makan dengan telur dadar atau goreng tahu, anak-anak teteh X hanya makan nasi sisa dengan garam. Teteh X berusaha mencari pekerjaan agar dia dan anak-anaknya bisa makan, karena ternyata suaminya tidak menafkahi dengan layak.

Bersambung