Pages

Sunday, 9 February 2025

Homeschooling : Reset!

Assalamualaikum.

Keluarga kecil kami menjalani homescholling sejak sekitar enam tahun lalu. Saat itu, anak sulung kami mulai mogok sekolah PAUD, ingin bermain dan belajar sama Bunda aja di rumah. Katanya, bersama Bunda lebih seru. Kebetulan juga, saat itu aku tengah hamil besar dan menjelang melahirkan. Kondisi saat itu, aku tak bisa pergi mengantar jemput anakku, pakai motor, membawa adiknya yang baru lahir. Tak mungkin pula meninggalkan newborn di rumah sementara aku mengantar kakaknya sekolah. Tak ada yang bisa dititipi, juga tak ada yang bisa dimintai tolong mengantar jemput. Maka setelah melahirkan, kami mantap memutuskan anak kami berhenti sekolah dan lanjut belajar di rumah.

Awalnya, niat kami hanya akan belajar di rumah selama PAUD-TK saja, saat SD anak kami akan bersekolah formal. Tapi saat tiba anakku usia 7 tahun (bahkan lebih), anakku tetap menolak masuk sekolah formal. Sejak setahun sebelumnya, kami mengajaknya berkeliling ke SD-SD di sekitar tempat tinggal kami. Setelah mencari tahu berbagai informasi, kami datangi satu persatu sekolah yang masuk list kami, lihat gedung sekolahnya, lihat anak-anaknya berkegiatan, dan ikut trial-nya jika ada. Setiap berkunjung ke satu sekolah, aku selalu bertanya "Nak, mau sekolah di sini?". Dari mulai sekolah negeri terdekat, SDIT, sekolah tahfidz yang statusnya masih pkbm, hingga sekolah swasta yang biayanya rasanya di atas kemampuan finansial kami. Yang ini kami deg-degan, kalo ternyata anak kami memilih sekolah ini, Ayah-Bundanya harus bersiap mengencangkan ikat pinggang dan bekerja lebih keras. Tapi semuanya dijawab "Nggak! Mau sekolah di rumah aja sama Bunda."

Maka, keputusan lanjut homeschooling dipilih. Pencarian berpindah dari yang tadinya mencari SD formal menjadi mencari PKBM. Alhamdulillah sudah ada beberapa rekomendasi PKBM yang sering di review di komunitas homeschooling yang kami ikuti. Kami mulai membandingkan beberapa PKBM, dari akreditasinya, program yang ditawarkan, kewajiban hadir di lokasi, dan tentu saja biayanya. Alhamdulillah saat itu kami mantap mendaftarkan sulung kami ke salah satu PKBM di Salatiga. Jadi meski homeschooling, sulung kami tetap terdaftar di dapodik dan memiliki NISN. Andai suatu saat kami berubah haluan ingin pindah ke sekolah formal, insyaallah bisa. 

Kami melanjutkan petualangan belajar di rumah, kali ini lebih serius. Karena sudah masuk fase akademik, maka sesi belajar lebih terjadwal. Ada target yang harus kami selesaikan selama satu semester. Ada portofolio yang harus kami setorkan ke PKBM setiap akhir semester. Sulung kami juga mengikuti beberapa club online yang ada di PKBM. Meski begitu, kurikulum tetap kami susun sendiri. Lesson plan bulanan dan mingguan juga kami yang buat. Jadwal harian, buku referensi, web/aplikasi yang digunakan semua kami memutuskan sendiri. Repot, tapi senang. Capek, tapi bahagia. 

Hingga di akhir tahun ketiga, aku mulai merasa kewalahan. Dengan kehadiran newborn lagi, aku merasa kesulitan membagi waktu antara mengurus rumah, menjalankan homeshooling untuk si sulung, mengasuh anak tengah usia toddler, juga mengurus dan menyusui newborn. Sempat terpikir memasukkan si sulung ke sekolah formal, dan tentu saja dia menolak. Maka akhirnya kami memindahkannya ke pkbm lain yang memiliki jawal belajar rutin, ada kelas (daring) setiap hari, sudah disediakan kurikulum dan best part-nya adalah ini sekolah sunnah. Kami dikirim program tetap, program semester, RPP mingguan, hingga modul belajar. Setoran dan murajaah hafalan juga lebih terjaga. Tentu saja ada beberapa materi yang tidak diajarkan di kelas daring dan kami harus tetap mengajarkannya langsung atau mencari pengajar lain di luar pkbm. Sulung kami juga mulai banyak mengikuti lomba. Meski biayanya meningkat tiga kali lipat, Alhamdulillah sepadan dengan kemudahan dan kepuasan yang kami dapatkan.

Dua tahun kemudian, aku merasa kewalahan lagi. Aku merasa sangat lelah dan jenuh. Anak sulung sebagian besar waktu belajarnya masih di kelas daring PKBM. Aku lebih sibuk menemani anak tengah dan bungsu menjalani homeschooling anak usia dini. Ayahnya pun semakin sibuk dengan pekerjaannya, sehingga waktunya untuk mengajar homeschooling anak-anak semakin berkurang. Aku beberapa kali ingin menyerah. Dah lah sekolah formal aja semua. Kami banyak berdiskusi bahkan berdebat. Menimbang segala baik buruknya. Dan akhirnya kami memutuskan : lanjut homeschooling

Kami memutuskan untuk mengikuti workshop homeshooling dasar. Kami merasa perlu me-refresh ilmu tentang homeshooling yang selama ini aku pelajari dari berbagai sumber. Aku ingin mengulang belajar dari awal, yang runut, dari hal yang paling mendasar. Dan selesai mengikuti workhop ini, kami mulai menerapkannya di homeshooling keluarga kami. Kami mengubah banyak hal, termasuk rutinitas. Kami mengulang menyusun prioritas, dan yang paling penting kami meluruskan kembali niat menjalankan homeshooling ini. Maka di awal tahun 2025 ini, Homeschooling Arafi : Reset!


No comments:

Post a Comment