Assalamualaikum.
Kali ini aku ingin cerita tentang salah satu kegiatan rutin rumah tangga, yang menurut banyak orang perempuan wajib bisa tapi aku ga suka, yaitu memasak. Melihat bagaimana ibu dan mamah (mertua)ku memasak setiap hari, seringnya sehari tiga kali setiap menjelang jam makan, sering membuat aku merasa malu dan insecure. Sampai usia pernikahanku kini dua belas tahun, aku masih belum bisa 'cinta' dengan memasak.
Aku mulai belajar memasak ketika kerja, setelah lulus kuliah. Itupun masak-masak ala anak kost pakai kompor listrik. Sebatas membuat sop sayuran, telur ceplok atau dadar, goreng tahu tempe dan tentunya masak mie instan. Awal-awal menikah dan tinggal terpisah dari orangtua, aku mencoba memasak setiap hari jika suami ada di rumah. Jika suami di site, tentu saja aku memilih beli lauk matang di warteg dekat kontrakan kami. Saat itu, masakanku bertambah. Tak hanya sop sayuran, aku mulai belajar memasak tumis kangkung dan bayam. Saat sedang hamil anak pertama, aku pernah terkaget-kaget. Kami beli kangkung seikat, wortel dua biji dan sepotong papan tempe, saat itu harganya lima ribu rupiah saja, beli di warung tetangga. Setelah dimasak, ternyata bisa untuk dua kali makan kami berdua, bahkan masih sisa. Wow murahnya. Pernah berpikir mau rajin masak aja biar hemat. Tapi ternyata aku tak bisa. Aku lebih sering bete dan sedih saat memasak. Murah sih, tapi capek banget. Dari mulai persiapan motong-motong sayurnya, nyucinya, masaknya, eh setwlah masakannya jadi ternyataga enak. Ditambah lagi setelah itu harus mencuci piring dan alat masak. Menurutku saat itu, ga worthed aku berhemat sekian rupiah tapi harus diganti dengan badmood seharian yang lama-lama menjadi faktor pemicu stres terbesar.
Bertahun-tahun kemudian, aku masih belum menyukai memasak tapi aku mencoba tetap memasak untuk keluargaku. Apalagi setelah ada anak, aku ingin memastikan asupan gizi anak-anakku tercukupi. Aku juga pernah ketat masalah pemberian msg di makanan keluargaku. Akj hanya berani memasak masakan sederhana yang sudah teruji bisa diterima lidahku dan keluarga kecilku. Aku tak berani bereksperimen. Sekali dua kali mencoba resep, tapi aku benci ketika membaca takaran di resep "garam secukupnya", "gula secukupnya". Yaaa secukupnya itu segimanaaaaaa? Aku malah sering marah-marah karena setelah ku cicipi ya rasanya ga enak. Maka aku masih tetap sering beli lauk di luar.
Saat ini, setahun terakhir ini aku 'terpaksa' memasak setiap hari. Thanks to tiktok karena banyak video-video memasak sederhana yang bisa kujadikan referensi. Aku mulai terbiasa belanja ke pasar seminggu sekali, menyusun menu, menyiapkan food preparation agar saat memasak lebih mudah dan cepat. Aku bahagia saat suami dan anak-anak memakan habis masakanku. Anak-anak yang setiap beberapa jam bilang "bun, lapar", "bun, ga ada cemilan?", "bun, bikin cemilan apa?" membuatku mau gak mau memasak lebih dari satu kali sehari. Kadang sengaja pagi-pagi ku masak sop baso sepanci besar agar cukup sampai makan malam, tinggal tambah telur dadar atau goremg tahu tempe, api tak pernah berhasil. Setelah dimakan pas sarapan, maka snack time jam 10an habislah itu sop sepanci. Paling mentok sampai makan siang. Makan malam ya harus masak lagi.
Oh ya, di sini aku tak pernah beli lauk matang di warteg. Alasannya ada lah. Kalau lagi males masak, sekalian aja semua makan di luar. Sesekali aku order makanan online, tapi bukan makan utama, cemilan semacam martabak, seblak, roti, atau es krim dan kopi. Aku juga masih menjaga ketat asupan MSG untuk keluargaku, saat ini gula juga sedikit-sedikit ku kurangi. Aku hanya menggunakan gula merah untuk memasak. Aku pernah shock pas masak bareng ibu-ibu untuk liwetan. Goreng teri segenggam dikasih micin sesendok bebek penuh. Aku yang penasaran mencicipinya, dan rasanya ENAK haha, meski terlalu asin dan langsung membuat kepalaku berat.
No comments:
Post a Comment